Arsip untuk Juli 16th, 2011

Historis Karaeng Galesong dan Syeh Yusuf terhadap perubahan sosial masyarakat

Juli 16, 2011

Historis Karaeng Galesong dan Syeh Yusuf terhadap perubahan sosial masyarakat Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan”

A. Judul Penelitian

“Tinjaun Historis Karaeng Galesong dan Syeh Yusuf terhadap perubahan sosial masyarakat Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan”
B. Latar Belakang

Wilayah provinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan memiliki tokoh ulama besar yang masik di keramatkan dan dipercajai oleh sebagaian besar masyarakat yang diantaranya Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong yang dikenal memiliki hubungan kekerabatan dan pengaruh yang sangat siknipikin diberbagai pelosok Negarah. Pelarian Karaeng Galesong ke tanah Jawa dikarenakan kekalahan kerajaan Gowa oleh Belanda pada tahun 1669. Ia tidak ingin berada di bawah jajahan Belanda, karenanya memilih untuk meninggalkan tanah Gowa bersama beberapa kerabat kerajaan. Mereka antara lain Karaeng Tallo Sultan Harunnarrasyid Tumenanga ri Lampana dan Daeng Mangappa, saudara kandung Karaeng Tallo. Dua lainnya paling terkenal adalah Karaeng Galesong Tumenanga Ritappana, dan Karaeng Bontomarannu Tumma Bicara Butta Gowa
Sebelum perkawinan Karaeng Galesong, Trunojoyo meminta Karaeng Galesong dengan pasukannya membantu menyerang Gresik dan Surabaya yang berada dalam kekuasaan Adipati Anom, Pasukan Karaeng Galesong seperti ditulis ahli sejarah Belanda, Degraff, Karaeng Galesong berhasil mengobrak-abrik pasukan Adipatai Anom yang kemudian lari ke jawa Tengah.
Syekh Yusuf merupakan seorang tokoh historis dan Pahlawan Nasional Indonesia
yang telah berpengaruh di berbagai tempat di dunia. Sejarahnya cukup menarik
sebab banyaknya tempat di dunia yang didatangi Beliau. Salah satu hal berkaitan
dengan Syekh Yusuf yang mengagumkan adalah keberadaan sekitar enam makam di dunia yang diakui sebagai makam Beliau. Yang mana sesungguhnya makam asli Beliau kita tidak tahu dan tergantung pendapat sedangkan yang menarik adalah setiap masyarakat yang mendapat pengaruh dari Syekh Yusuf mempunyai cerita masing-masing baik tentang makam maupun tokohnya. Sebagai akibatnya muncul semacam pluralitas sejarahnya yang penuh dengan berbagai versi. Satu versi yang belum diamati secara lengkap dan jarang disebutkan dalam tulisan sejarah formal adalah versi masyarakat Madura, di mana terdapat pula makam Syekh Yusuf. Kalau sejarah dicermati, ternyata tidak muncul sebuah hubungan langsung antara masyarakat Madura dan Syekh Yusuf namun ada makam Beliau di salah satu pulaunya.
Seorang tokoh yang masih mempunyai daya tarik untuk ditelusuri adalah Syekh Yusuf dari Makassar, Sulawesi Selatan. Syekh Yusuf hidup pada Abad ke-17 dan menjadi seorang ulama, sufi serta pejuang politik yang termasyhur baik di Indonesia maupun di luar negeri, misalnya di Sri Lanka dan Afrika Selatan. Sampai sekarang, Beliau masih dianggap sebagai seorang pahlawan maka cerita mengenai Syekh Yusuf masih dikenang secara turun-temurun.
Yang menarik tentang tokoh Syekh Yusuf misalnya adalah Beliau sempat mengadakan perjalanan ke beberapa tempat di dunia dan berpengaruh penting pada berbagai masyarakat Oleh karena itu, terdapat banyak cerita dan mitos mengenai Beliau. Sebagai akibatnya, yang muncul adalah semacam pluralitas sejarah Syekh Yusuf, terbentuk dari cerita daerah masing-masing. Dari cerita masing-masing muncul bermacam-macam sifat tokohnya serta informasi tentang kehidupannya yang digunakan untuk menciptakan gambaran umum Syekh Yusuf sebagai tokoh historis.
Selain mitos dan cerita masing-masing masyarakat yang dipengaruhi Syekh Yusuf, ternyata ada fenomena agak luar biasa, di mana ada pluralitas makam Syekh Yusuf pula. Di lebih dari satu tempat terdapat makam yang, menurut orang setempat, merupakan makam Syekh Yusuf. Ada kira-kira enam tempat pemakaman Syekh Yusuf, yaitu di Cape Town, Afrika Selatan, di Makassar, di Banten, Jawa Barat, di Palembang, Sumatra, di Sri Lanka, serta di Talango, Madura. Makam-makam tersebut masih berfungsi dalam masyarakat dan didatangi para perziarah. Yang menjadi makam yang benar adalah hal yang masih diperdebatkan karena adanya pluralitas cerita tentang kehidupan Syekh Dari ‘sejarah lisan’ yang dimaksudkan adalah cerita-cerita Syekh Yusuf yang di turun-temurunkan dalam masyarakat tersebut. Topik ini dijadikan fokus sebab keberadaan banyak misteri mengenai makam tersebut, masyarakat tersebut serta kaitannya dengan Syekh Yusuf. Kalau dokumentasi, misalnya riwayat hidup

C.
1

Rumusan Masalah
1. Bagaimana perang Karaeng Galesong dan Syeh yusuf terhadap perubahan sosial masyarakat Kabupaten Gowa.
2. Bagaimana perubahan sosial masyarakat terhadap ajaran Karaeng Galesong dan Syeh yusuf di Kabupaten Gowa?
3. Bagaimana perilaku, nilai dan norma masyarakat terhadap ajaran Karaeng Galesong dan Syeh yusuf di Kabupaten Gowa?
D. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengungkap atau mendeskripsikan perang Karaeng Galesong dan Syeh yusuf terhadap perubahan sosial masyarakat Kabupaten Gowa.
2. Mengungkap perang Karaeng Galesong dan Syeh yusuf terhadap struktur sosial masyarakat Kabupaten Gowa.
3. Mengungkap atau mendeskripsikan perilaku, nilai dan norma masyarakat terhadap ajaran Karaeng Galesong dan Syeh yusuf di Kabupaten Gowa.

E. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan khususnya bagi kalangan akademisi dan praktisi serta seluruh masyarakat Gowa tentang historis Karaeng Galesong dan Syeh yusuf di Kabupaten Gowa.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi kontribusi pemikiran dan bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Gowa dan instansi yang terkait dalam meninjau dan merumuskan kebijakan serta program yang berhubungan dengan pengembangan budaya lokal yang ada di Kabuapten Gowa.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat Gowa dalam melestarikan dan menjaga nilai-nilai warisan para leluhur di Kabupaten Gowa.

F. Tinjauan Pustaka
1. Konsep perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas. Ia dapat menyangkut struktur sosial atau pola nilai dan norma serta peranan. Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990:264). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Soekanto (dalam Sorokin, 1957:153), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial.
Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Misalnya definisi perubahan sosial menurut Hawley dalam Sztompka (2007:3), menyatakan bahwa perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan.
Perubahan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut pengamatan; apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan keadaan sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen sebagai berikut:
1. Unsur-unsur pokok (jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka).
2. Hubungan antar unsur (ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antar individu, integrasi).
3. Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (peran pekerja yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial).
4. Pemeliharaan batas (kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekrutmen dalam organisasi).
5. Subsistem (jumlah dan jenis seksi, segmen, atau divisi khusus yang dapat dibedakan).
6. Lingkungan (keadaan alam atau lokasi geopolitik) (Sztompka, 2007:3-4).

Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990:267). Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960:202). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990:266), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan adalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut.
Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku. Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

2. Dinamika Budaya pada Masyarakat
Mempelajari kebudayaan sebagai hasil masyarakat tidak akan membatasi diri pada struktur kebudayaan tersebut, yaitu unsur-unsurnya yang statis, tetapi perhatiannya juga dicurahkan pada gerak kebudayaan tersebut. Tak ada kebudayaan yang statis, semua kebudayaan mempunyai dinamika atau gerak. Gerak kebudayaan sebenarnya adalah gerak manusia yang hidup di dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tadi. Gerak manusia terjadi oleh sebab dia mengadakan hubungan-hubungan dengan manusia lainnya. Artinya, karena terjadinya hubungan antar kelompok manusia di dalam masyarakat (Basrowi, 2005: 86-87)
Proses sosial merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Di dalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia satu dengan lainnya. Proses hubungan tersebut berupa interaksi sosial dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antara dua belah pihak, yaitu antara individu yang satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai sesuatu atau tujuan tertentu. Proses sosial pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan masyarakat Syani dalam (Basrowi, 2005: 136)
Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering membicarakan soal kebudayaan dan orang senantiasa berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang melihat, mempergunakan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari kata Sangsekerta “ Buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata “Buddhi”, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Tylor (1924:1) memberikan defenisi kebudayaan sebagai berikut: “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan yang normatif yaitu mencakup segala cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.

3. Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong Terhadap Perubahan Sosial
Syekh Yusuf dari Makassar, Sulawesi Selatan. Syekh Yusuf hidup pada Abad ke-17 dan menjadi seorang ulama, sufi serta pejuang politik yang termasyhur baik di Indonesia maupun di luar negeri, misalnya di Sri Lanka dan Afrika Selatan. Sampai sekarang, Beliau masih dianggap sebagai seorang pahlawan maka cerita mengenai Syekh Yusuf masih dikenang secara turun-temurun.
Yang menarik tentang tokoh Syekh Yusuf misalnya adalah Beliau sempat mengadakan perjalanan ke beberapa tempat di dunia dan berpengaruh penting pada berbagai masyarakat Oleh karena itu, terdapat banyak cerita dan mitos mengenai Beliau. Sebagai akibatnya, yang muncul adalah semacam pluralitas sejarah Syekh Yusuf, terbentuk dari cerita daerah masing-masing. Dari cerita masing-masing muncul bermacam-macam sifat tokohnya serta informasi tentang kehidupannya yang digunakan untuk menciptakan gambaran umum Syekh Yusuf sebagai tokoh historis.
Selain mitos dan cerita masing-masing masyarakat yang dipengaruhi Syekh Yusuf, ternyata ada fenomena agak luar biasa, di mana ada pluralitas makam Syekh Yusuf pula. Di lebih dari satu tempat terdapat makam yang, menurut orang setempat, merupakan makam Syekh Yusuf. Ada kira-kira enam tempat pemakaman Syekh Yusuf, yaitu di Cape Town, Afrika Selatan, di Makassar, di Banten, Jawa Barat, di Palembang, Sumatra, di Sri Lanka, serta di Talango, Madura. Makam-makam tersebut masih berfungsi dalam masyarakat dan didatangi para perziarah. Yang menjadi makam yang benar adalah hal yang masih diperdebatkan karena adanya pluralitas cerita tentang kehidupan Syekh Dari ‘sejarah lisan’ yang dimaksudkan adalah cerita-cerita Syekh Yusuf yang di turun-temurunkan dalam masyarakat tersebut
provinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan memiliki tokoh ulama besar yang masik di keramatkan dan dipercajai oleh sebagaian besar masyarakat kabupaten Gowa yang diantaranya Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong yang dikenal memiliki hubungan kekerabatan dan pengaruh yang sangat siknipikan diberbagai pelosok Negarah. Pelarian Karaeng Galesong ke tanah Jawa dikarenakan kekalahan kerajaan Gowa oleh Belanda pada tahun 1669. Ia tidak ingin berada di bawah jajahan Belanda, karenanya memilih untuk meninggalkan tanah Gowa bersama beberapa kerabat kerajaan.

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan lokasi penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, karena data dan informasi yang diharapkan dari informan seperti pendapat, pertimbangan, dan pengalaman serta saran melalui wawancara mendalam mengenai Historis Karaeng Galesong dan Syeh Yusuf terhadap perubahan sosial” suatu dinamika budaya, memerlukan penjelasan (eksplanatory) dan penafsiran (interpretative) terhadap data dan informasi.
Lokasi penelitian ditetapkan dengan sengaja (purposive). Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gowa Sulawesi selatan, dengan alasan bahwa;
1. Historis Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong dianggap sebagai obyek penelitian utama dalam mencari informasi tentang bagaimana pandangan masyarakat terhadap ajaran-ajaran serta pahan spiritual Syeh Yusuf dan Karaneg Galesong di Kabupaten Gowa.
2. Tingkat perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat terhadap paham Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong di Kabupaten Gowa
2. Fokus penelitian
Adapun yang menjadi fokus penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menjelaskan hubungan antar Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong dan ajaran-ajaran yang ada di Kabupaten Gowa sampai sekarang ini.
b. Menjelaskan perubahan yang terjadi serta alur terjadinya perubahan di Kabupaten Gowa terhadap lahirnya paham-paham Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong..
c. Mengungkap perilaku, nilai dan norma masyarakat dalam memahami historis Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong di Kabupaten Gowa.
Definisi Konsep Penelitian
Untuk menghindari perbedaan persepsi, maka dibuat defenisi operasional sebagai berikut:
a. Historis yaitu sejarah perkembangan karaeng galesong dan Syeh Yusuf di Kabupaten Gowa.
b. Perubahan sosial, yaitu perubahan masyarakat secara struktur sosial dalam memahami paham ajaran-ajaran Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong di Kabupaten Gowa.
c. Perilaku, nilai dan norma yaitu adanya pergeseran nilai, norma serta perilaku sehingga terjadi pemahaman masyarakat dalam memahami paham ajaran-ajaran Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong di Kabupaten Gowa.
Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. data primer dikumpulkan secara langsung dari informan dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide) dan pengamatan (observasi), sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari pengkajian bahan pustaka berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen pada instansi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dengan menggunakan teknik dokumentasi.
Teknik Pengumpulan Data
Mengacu pada urgensi pengkajian yang dikembangkan dalam penelitian ini, maka digunakan beberapa tehnik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian ini.
b. Data yang dikumpulkan adalah informasi yang didapatkan melalui teknik Participatory Rural Appraisal (PRA) melalui wawancara mendalam, merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan tanya jawab dengan informan dalam kondisi yang akrab.
c. Observasi, merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung peneliti akan melibatkan diri pada informan secara akrab.
d. Teknik dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mencatat data langsung, foto lapangan, serta gambar-gambar yang dapat lebih mengakuratkan data penelitian yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Wawancara dengan informan dilakukan berdasarkan panduan topik pertanyaan, yang mencakup lima aspek atau dimensi kondisi sosial budaya masyarakat. Validitas panduan pertanyaan yang digunakan tersebut ditentukan berdasarkan validitas isi (Danim, 2003).
Informan pertama atau informan kunci (key person) adalah tokoh masyarakat yang ditetapkan secara purposif (sengaja) melalui informasi yang diperoleh dari Dinas kebudayaan terpilih. Informan selanjutnya, baik tokoh masyarakat atau tokoh adat yang didapat dengan menggunakan teknik snowball, Hamidi (dalam James A. Black, 2004:267) Informan yang diinginkan peneliti adalah masyarakat yang paham tentang Historis Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong dalam hubungannya dengan perubahan sosial masyarakat di Kabupaten Gowa
Instrumen penelitian
a. Wawancara mendalam dilakukan dengan membuat pedoman wawancara, yang menjadi acuan peneliti dalam melakukan wawancara dengan informan yang ada di lapangan.
b. Observasi dilakukan sebagai sebuah bentuk pengamatan langsung ke lapangan, yang dilakukan pada pra penelitian maupun pada saat proses pengambilan data di lapangan.
c. Dokumentasi dapat diperoleh dari kantor Kecamatan, atau hasil penelitian dengan mencatat temuan di lapangan yang relevan dengan permasalahan yang peneliti angkat.
7. Teknik analisis data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif kualitatif. Maksudnya adalah seluruh data yang diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumentasi, peneliti akan mendeskripsikan, menganalisis, menginterpretasikan, memaparkan, yang ada hubungannya dengan fokus penelitian ini, untuk lebih detailnya sebagai berikut:
1. Dengan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti terhadap para informan yang kemudian mengeksplorasi data lapangan yang menyangkut tentang perubahan sosial masyarakat terhadap historis Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong terhadap perubahan social masyarakat di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan.
2. Untuk masalah pertama, menggunakan observasi dan wawancara mendalam kepada masyarakat yang paham tentang hubungan historis Karaeng Galesong dengan Syeh Yusuf.
3. Untuk masalah kedua, penulis akan menganalisis data observasi dan wawancara mendalam yang peneliti dapatkan dari informan tentang bagaimana paham Syeh Yusuf dan Karaeng Galesong terhadap perubahan sosial masyarakat.
4. Untuk masalah ketiga, peneliti menganalisis dengan berdasar pada hasil wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi kemudian peneliti memberikan gambaran tentang bagaimana proses perubahan perilaku, nilai dan norma masyarakat antara paham Syeh Yusuf dan paham Karaeng Galesong di Kabupaten Gowa.

D. Tinjauan Pustakan
Ahmad M Sewang. 2005 Islamisasi kerajaan gowa (abad XVI sampai ke XVII), Jakarta Yayasan Obor indonesi; Media Grafika
Basrowi, M.S. 2005. Pengantar Sosiologi. Rencamaya: Galian Indonesia.

Hamid Abu 2005 Syehk yusuf Makassar: seorang ulama, Sufi, dan pejuang, Jakarta Rahmatika Creative Design

Lubis Nabilah. 2009 Menyingkap intisari segala rahasia: Syekh Yusuf al-Taj al-Makasari Universitas Indonesia Fakultas Sastra,

Sophiaan Manai, 2008 Perang Gowa terakhir Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Universitas

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Terjemahan Oleh Alimandan. Jakarta: Prenada.

Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan

Mattulada dkk. 2006. JudulAgama dan perubahan social Rajawali, University of California

Moleong, J. Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wahono Satrio, 2007 Sejarah Indonesia modern 1200-2004 Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta

KONFLIK SOSIAL PADA KOMUNITAS PAINUNG BALLO

Juli 16, 2011

ABSTRAK
KAHARUDDIN. “Konflik Sosial pada Komunitas Painung Ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa.” (dibimbing oleh Abdul Salam dan Sulaeman Samad).

Merupakan Penelitian tentang analisis konflik di Kecamatan Bontonompo Selatan yang meliputi, eksistensi komunitas painung ballo di Bontonompo Selatan, penyebab munculnya konflik pada komunitas painung ballo, dinamika konflik pada komunitas painung ballo.
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan pendekatan fenomenologis, studi kasus, interpretatif sebagai bagian dari ilmu sosiologi yang bersifat inkuiri naturalistik, pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam,teknik observasi dan teknik dokumentasi dari hasil foto dan arsip yang di miliki oleh Pemerintah setempat. Dalam penelitian ini, yang menjadi sasaran penelitian yang pertama masyarakat yang tergabung dalam komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa, kedua, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang tergolong paham dan mengetahui bagaimana seluk-beluk komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan yang berkaitan dengan munculnya konflik pada komunitas painung ballo di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Bontonompo Selatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa (1) eksisnya komunitas painung ballo di Bontonompo Selatan ”tidak dapat dipisahkan” dari kehidupan masyarakat yang sudah menjadi kebiasaan dalam kelangsungan hidup bermasyarakat, (2) munculnya konflik dalam komunitas painung ballo di Bontonompo Selatan disebabkan oleh kurangnya kontrol diri setelah menkomsumsi ballo tala, (3) dinamika komunitas painung ballo sangat beragam misalnya saja sebagian masyarakat menganggap bahwa meminum ballo menjadi perangsang dalam meningkatkan vitalitas kerja, meningkatkan rasa percaya diri bagi kalangan generasi muda khususnya di Kecamatan Bontonompo Selatan.

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian
Kehidupan masyarakat Kabupaten Gowa merupakan sebuah persoalan yang cukup kompleks. Fenomena sosial yang ada seringkali mengacu pada adanya indikasi-indikasi yang rentan sekali melahirkan perbedaan dan bahkan perselisihan dalam hal persepsi dan interprestasi sehingga melahirkan konflik-konflik sosial ditengah-tengah masyarakat Kabupaten Gowa. Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan perubahan dan perkembangan sosial.
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dan dipikirkan diluar masyarakat. Individu-individu tidak akan dapat bertahan hidup dalam keterpencilannya sama sekali. Manusia senantiasa membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan predikatnya sebagai manusia. Wujud dari itu akan melahirkan ketergantungan, yang pada akhirnya mendatangkan sebuah bentuk kerja sama yang akan berlangsung dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dari interaksi-interaksi tersebut pada akhirnya akan melahirkan sebuah bentuk masyarakat yang beraneka ragam, baik dari segi struktur, politik maupun sosial serta perbedaan karakter di antara masyarakat Kabupaten Gowa. Ini adalah sebuah keniscayaan, karena sejak kehadiran mereka telah dianugerahi gelar sebagai mahkluk sosial, sehingga dalam kehidupannya sifatnya dinamis.
Masyarakat Kabupaten Gowa pada dasarnya, memiliki karakter yang berbeda-beda, ada yang berkarakter keras dan ada pula yang tidak. Dengan perkembangan masyarakat yang cukup kompleks seiring dengan perkembangan zaman sehingga perubahan sosial masyarakat yang memudahkannya berubah.
Perbedaan karakter masyarakat Kabupaten Gowa merupakan perwujudan ciri khas masyarakat Kabupaten Gowa, yang pada hakikatnya masyarakat Kabupaten Gowa, juga tidak terlepas dari konflik-konflik sosial, diantaranya; konflik antar individu, komunitas, dan konflik antar desa, realitas konflik memang tidak terlepas dari kehidupan sosial masyarakat, karena kehidupan sosial sifatnya dinamis yang selalu mengarah pada paradigma perubahan kepentingan, yang merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat.
Kecamatan Bontonompo Selatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Gowa dalam kehidupan sosial konflik adalah suatu hal yang melekat dan tak dapat dihindarkan dalam masyarakat. Konflik merupakan suatu keadaan pertentangan karena adanya ketidak-harmonisan hubungan sosial di antara komunitas maupun antar komunitas dalam suatu masyarakat.
Bontonompo Selatan merupakan Kecamatan yang didalamnya tidak terlepas dari konflik-konflik sosial karena masyarakat Bontonompo Selatan merupakan bagian dari sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau konponen-konponen yang mempunyai aktifitas yang berbeda-beda. Bontonompo Selatan sebagai Kecamatan baru yang masyarakatnya selalu berafiliasi pada tataran dinamika sosial dan belajar memahami hegemoni masyarakat sosial di lingkupnya, Bontonompo Selatan terdiri dari delapan desa dan satu kelurahan, diantaranya: Desa Sengka, Desa Tanrara, Desa Tindang, Kelurahan Bontoramba, Desa Salajangki, Desa Jipang, Desa Salajo, Desa Bontosunggu, dan Desa Pabundukan.
Dari beberapa Desa diKecamatan Bontonompo Selatan ternyata tidak terlepas dari miras jenis ballo sehingga painung ballo pun semakin banyak, walau pada dasarnya kebaradaan ballo tala di Kecamatan Bontonompo Selatan secara historis merupakan simbol sejara masyarakat Gowa, secara realitas ballo tala merupakan minuman yang bisa bermanfaat bagi kondisi tubuh bila dikonsumsi tanpa berlebi-lebihan karena ballo tala pada dasarnya merupakan alat untuk membangkitkan istamina.
Walapun pemaknaan fungsi ballo tala pada dasarnya merupakan alat untuk membangkitkan semangat keberanian dalam menghadapi musuh dalam hal ini pertempuran. Ballo tala junga merupakan minuman yang sakral karena ballo tala hanya dapat di konsumsi oleh orang-orang tertentu seperti orang tua, pengawal-pengawal raja, dan para raja itu sendiri sehingga ballo merupakan hal yang sangat subtansial.
Dilihat dari sudut pandang kekinian ballo tala telah bergesar dari makna serta manfaatan sebelumnya dimana ballo tala hanya diganrungi oleh banyak generasi mudah walaupun pada dasarnya ballo tala juga masih dikonsumsi oleh generasi tua, akan tetapi balo tala dalam posisnya sebagai minuman keras yang selama ini disakralkan, kini telah menjadi minuman yang biasa-biasa saja bagi generasi mudah khususnya pada saat sekarang ini, sehingga pergeseran pemanfaatan ballo tala pun terjadi. Individu yang mengkonsumsi ballo tala di zaman sekarang ini hanya mampuh melahirkan keresahan masyarakat, konfilk antar individu, konflik keluarga, konflik antar komunitas dan kelompok-kelompok tertentu. Dampak yang paling berbahaya dari minuman ini justru dampak yang diakibatkan bagi orang lain dan masyarakat yaitu sering terjadinya kriminalitas yang mengganggu kenyamanan, ketertiban, dan keamanan masyarakat, serta tindakan pelanggaran hukum. Menurut pihak aparat keamanan pelanggaran hukum dan kriminalitas yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh pengaruh minuman keras.
Keberadaan masyarakat yang memproduksi miras jenis ballo, mengantar sehingga komunitas painung ballo ini semakin banyak dan membesar, walaupun pada prinsipnya miras jenis ballo ini berasal dari pohon lontar (poko tala) yang diramu sedemikian rupa sengingga dapat mebabukkan, bentuk ramuan ballo tala ini sehingga dapat mebabukkan karena di campurkannya dengan ramuan yang berasal dari kulit kayu yang disebut dengan pohon coppeng (rappo-rapo jawa) yang dikeringkan terlebih dahulu, walaupun pada dasarnya proses pembuatan miras jenis ballo hanya dengan cara tradisional akan tetapi cukup banyak peminatnya, sehingga lahirlah komunitas painung ballo yang berbentuk penguyuban.
Dengan adanya individu yang memproduksi miras jenis ballo sehingga lahirlah beberapa komunitas painung ballo, dimana komunitas painung ballo memandang dan menganggap ballo ini salah satu alat untuk membangkitkan stamina dan keberanian, sehingga sebahagian masyarakat Bontonompo Selatan baik orang tua, anak mudah juga terlibat dan ikut mengkonsumsi miras jenis ballo (ballo tala). Walaupun pada awalnya ballo ini hanya dikonsumsi oleh orang-orang tua saja, akan tetapi dengan lahirnya pergeseran pemahaman sehingga ballo ini juga ikut dikonsumsi oleh anak mudah dan dijadikan sebagai alat untuk menyombongkan diri di saat sudah mabuk, sehingga melahirkan bias berupa konflik-konflik sosial yang begitu mudah terjadi.
Miras jenis ballo ini memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dan memiliki dampak negatif, karena ballo bisa mengantar individu pada wilayah konflik sosial, dimana realitas yang terjadi di Kecamatan Bontonompo Selatan, disaat individu antar individu atau komunitas antar komunitas ketika sama-sama mabuk dan masing-masing saling mengandalkan dirinya serta menjagokan dirinya sehingga lahir ketersinggungan yang akhirnya melahirkan perkelahian yang berdampak pada pembunuhan.
Walaupun pada dasarnya painung ballo ini merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpan, karena keberadaannya masih berada pada tataran rahasia (masih sembunyi-sembunyi dari publik) karena merupakan salah satu bentuk minuman yang dilarang oleh pihak pemerintah dan pihak yang berwajib (hukum), kenapa demikian, karena minuman ini merupakan minuman yang memabukkan (minuman keras) yang memiliki dampak terhadap masyarakat disekitarnya serta dapat meresahkan masyarakat itu sendiri, begitu pula karena seringnya terjadi keributan-keributan yang berupa perkelahian, ini diakibatkan karena terlalu banyak minum (sudah mabuk) sehingga keseimbangan/kontrol diri sudah tidak berfungsi lagi yang akhirnya terjadilah percekcokan yang berdampak pada konflik sosial.
Masyarakat Bontonompo Selatan yang berkarakter keras, karena masih berada pada dimensi pemahaman nilai-nilai yang sangat kental, seperti halnya nilai-nilai pemahaman tentang kultur (Budaya) dimana masyarakat masih berkiblat pada doktrin-doktrin sejarah, seperti halnya: Pertama, tidak bisa jadi raja/pemimpin di Gowa kalau tidak pernah jadi somba di Bontonompo, kedua, orang Bontonompo haram hukumnya berutang darah, dari dua landasan pemahaman tersebut sehingga konflik sarat terjadi di Kecamatan Bontonompo Selatan.
Kemunculan konflik di Bontonompo Selatan seringkali terjadi dan tempat-tempat terjadinya konflik seperti:
1.Sarat terjadinya konflik pada saat ada prosesi pernikahan/pesta perkawinan yang dirangkaikan dengan adanya hiburan.
2.Sarat terjadinya konflik pada saat ada prosesi pertandingan-pertandingan.
3.Sarat terjadinya konflik karena adanya perbedaan pemahaman pendapat antar masyarakat atau kelompok.
4.Sarat terjadinya konflik karena masih lahir kelas-kelas atau kelompok-kelompok masyarakat.
Dari keempat item tersebut di atas yang menggambarkan tentang ruang-ruang terjadinya konflik, kerena mereka mengkonsumsi miras jenis ballo (minum dulu baru ke acara tersebut) sehingga konflik mudah untuk terjadi akibat hal-hal yang sifatnya sepeleh, contoh konkrit, gara-gara bersenggolan atau terinjak kakinya tanpa sengaja yang akhirnya lahir ketersinggungan maka terjadilah pertengkaran muluk yang berdampak pada perkelahian yang akhirnya membias kepembunuhan, karena sebahagian besar individu yang bergabung dalam komunitas painung ballo itu tidak terlepas dari senjata tajam (badi) sehingga konflik sosial tidak dapat dielekkan. inilah yang menjadi pertanyaan, Bagaimana penyebab konflik sosial di Bontonompo Selatan? dan bagaimana dinamika konflik sosial pada komunitas painung ballo? Serta bagaimana pemunculan konflik sosial pada komunitas painung ballo?
Mengacu dari hal tersebut di atas, dimana ruang konflik sering terjadi pada pesta perkawinan, sehingga mendapat tanggapan/perhatian dari pemerintah Kecamatan Bontonompo Selatan, sehingga pemerintah setempat mengambil inisiatif dengan megeluarkan kebijakan untuk menangani tingkat konflik yang terjadi dengan melahirkan peraturan-peraturan seperti halnya: peraturan batasan waktu hiburan pada saat ada pesta perkawinan dari jam 8.00-10.00 malam, walaupun pada awalnya jam hiburan sebelum lahir aturan ini mulai dari jam 8.00-12.00 malam, akan tetapi, dengan lahirnya aturan baru tersebut tingkat pertikaian atau konflik tetap masih terjadi sampai sekarang dan tidak ada perubahan, lahirnya peraturan keramaian yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat pada tanggal 10 Juni 2006 yang pada masa itu yang menjabat sebagai pemerintah Kecamatan Bontonompo Selatan adalah Abd. Latif. Berlandaskan fenomena latar belakang tersebut sehingga saya berinisiatif untuk melakukan penelitian tentang analisis konflik sosial pada komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa. Walapun pada dasarnya penduduk Bontonompo Selatan sesuai jenis kelamin seperti jumlah laki-laki 9579 dan perempuan 1170 jadi jumlah keseluruhan 20649 jiwa.

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut:
1.Bagaimana eksistensi komunitas Painung Ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa?
2.Apa penyebab munculnya konflik pada komunitas Painung Ballo di Kecamata Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa?
3.Bagaimana dinamika konflik soal komunitas Painung Ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa?

C.Tujuan Penelitian
Pada prinsipnya tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah seperti yang telah dirumuskan di atas, yang selengkapnya sebagai berikut:
1.Mendeskripsikan eksistensi komunitas painung ballo di Bontonompo Selatan.
2.Untuk mengetahui fakta sebab kemunculan konflik pada komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan.
3.Untuk mengungkapkan dinamika konflik sosial pada komunitas painung ballo.
D.Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah serta tujuan penelitian diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi kontribusi pengetahuan:

1.Aspek keilmuan (teoritis)
Menambah khasanah pengetahuan khususnya dalam kajian sosiologi dalam hal ini membicarakan persoalan konflik sosial hubungannya dengan komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupanten Gowa.
2.Aspek terapan (praktis)
Bahan masukan bagi kalangan pemerintah, masyarakat serta akademisi dan organisatoris tentang seringnya terjadi konflik sosial yang di sebabkan oleh individu yang mengkonsumsi ballo talah di Kecamatan Bontonompo Selatan dalam rangka penanggulangan penomena-penomena sosial yang di akibatkan oleh minuman keras jenis ballo talla.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang teori dan konsep yang relevan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian tersebut. Teori dan konsep yang dimaksud meliputi: konsep konflik sosial, konsep tentang komunitas, sekilas tentang konflik di Kecamatan Bontonompo Selatan, poko tala dan asal muasal ballo, konsep perilaku menyimpang, kerangka pikir.

A.Konsep Konflik Sosial
1.Pandangan Karl Marx mengenai konflik sosial
Menurut Karl Marx, hakikat kenyataan sosial adalah konflik, konflik adalah satu kenyataan sosial yang bisa ditemukan di mana-mana. Bagi Karl Marx, konflik sosial adalah pertentangan antara sekmen-sekmen masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik sosial ini bisa bermacam-macam yakni konflik antar individu, konflik antara kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa.
Teori konflik merupakan suatu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lainnya guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya (Bernard Raho, 2007:71).
Konflik di Kecamatan Bontonompo selatan merupakan salah satu konflik sosial yang didalamnya melibatkan beberapa komponen-komponen atau kelompok, yang merupakan bias dari perilaku individu yang mengarah pada konflik. konflik ini dapat terjadi akibat ketersinggungan antara painung ballo dan non painung ballo, dan hironisnya lagi dari beberapa individu memang sengaja membuat onar yang dipengaruhi oleh minuman dalam hal ini pengaruh ballo (mabuk), dimana pandangan Karl Marx mengenai konflik yang dijelaskan di atas tentang terjadinya sekmen-sekmen dan itu tidak terlepas dari Bontonompo Selatan tentang konflik itu sendiri.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik, Percekcokan, perselisihan, pertentangan, Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam: konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi konflik peran, konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga). Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa). Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara) (Maulana Yusuf, 2008).

2. Pandangan Konflik Galtung
Segitiga konflik galtung merupakan analisis hubungan sebab akibat atau interaksi yang memungkinkan terciptanya konflik sosial. Ada tiga dimensi dalam segitiga konflik galtung, yaitu sikap, perilaku dan kontradiksi (Novri Susan 2009:83). Konflik dalam komunitas painung ballo merupakan bagian dari kesalah pahaman antar persepsi individu yang satu dengan individu yang lainnya sehingga melahirkan suatu perilaku yang berupa gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan pada tataran permusuhan sehingga mengarah pada kontradiksi yang berupa kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap dan perilaku sebagi suatu proses sosial sehingga tidak terlepas dari konflik-konflik sosial.
a. Beberapa pandangan tentang konflik sosial
Menurut Webster (dalam Pruitt, 2004:9) istilah ”conflict” di dalam bahasa aslinya konflik berarti suatu ”perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak, dan definisi Webster yang kedua tentang ”conflic” berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interrest).
Teori sosiologi dibuat untuk maksud-maksud yang sama, yakni untuk menerangkan dan memahami pengalaman, peristiwa pada basis lain yang ada di dunia dengan analisis ide secara umum (Ian Craib, 1986:11). Banyak definisi konflik yang dikemukakan oleh para pakar. Dari berbagai definisi dan berbagai sumber yang ada istilah konflik dapat dirangkum dan diartikan sebagai berikut:
(1) konflik adalah bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai, serta kebutuhan; (2) hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan;(3) pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, dan motifasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya; (4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain perasaan serta fisiknya terganggu; (5) bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada; (6) proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau melemahkan pesaing.

Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam suatu masyarakat sangat tergantung dari sumber potensi konflik pada masyarakat tertentu dan komunitas. berkaitan dengan sumber-sumber konflik, sumber konflik di Kecamatan Bontonompo Selatan sedikitnya ada beberapa macam sumber konflik masyarakat, yaitu: (1) adanya persaingan antara komunitas painung ballo dalam mempertahankan komunitasnya, (2) seringnya lahir kesalah pahaman antar individu denga individu yang lainnya, (3) bertemunya orang-orang yang perna berselisi antar satu dengan yang lainnya pada suatu acara-acara keramaian, (4) Ada potensi konflik yang sudah mengakar dalam masyarakat.
Selain dari keempat sumber potensi konflik tersebut, tentunya masih banyak lagi sumber potensi konflik lainnya, antara lain yaitu faktor ekonomi dan persoalan politik yang belum stabil. Dari beberapa sumber potensi konflik tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengkaji kasus-kasus konflik yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air Indonesia beberapa tahun belakangan ini, termasuk konflik yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah akan tetapi konflik yang terjadi di Kecamatan Bontonompo Selatan sangat berbeda, karena konflik yang terjadi selalu di identikkan dengan komunitas painung ballo yang berupa perkelahian sehingga berdampak pada pembunuhan.
Istilah konflik itu sendiri seringkali mengandung pengertian negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian keserasian, kedamaian, dan keteraturan. Konflik seringkali diasosiasikan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pandangan yang sempit mengenai konflik yang demikian, tidak mudah untuk diubah. Munculnya budaya “mencegah konflik”, “meredam konflik” dan anggapan bahwa berkonflik adalah “berkelahi” bukanlah sesuatu yang relevan untuk kondisi saat ini. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan, tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif akan tetapi konflik yang terjadi pada komunitas painung ballo murupakan bagian dari suatu dinamika konflik yang tidak terorganisir.

3. Analisis konflik Ralf Dahrendorf
Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf yang sering disebut sebagai teori konflik dialektik. Dahrendorf memandang masyarakat mempuanyai dua wajah, yakni konflik dan konsensus. Tidak heran, konsep-konsep konflik yang dikemukakan Dahrendorf masuk pada semua literature, baik yang membicarakan kajian sosiologi klasik sampai ilmu sosiologi yang lain. Demikian juga ia menghindari penjelasan tentang konflik dari pembacaan yang bersifat ideologis. Tidak heran Dahrendorf memilih kajian yang bersifat komperatif dan empiris. Dahrendorf, dimana ada beberapa kelemahan Marx-dan beberapa pengikut marxis- yang membuat ramalan tentang revolusi kelas tidak terbukti; disamping itu, karakter masyarakat ketika Marx menulis bukunya dengan masyarakat pada abad ke-19, benar-benar memiliki ciri yang lain.
Kemudian, ilmuan terdahulu yang juga tidak kalah penting adalah tokoh fungsionalisme struktural, Talcon Parsons. Kritik Dahrendorf yang utama terkait dengan asumsi-asumsi yang dipegang teguh oleh penganut pendekatan sistem itu. Dahrendorf dalam Max Weber. Dari tokoh Jerman ini, Dahrendorf membincangkan kembali tentang kekuasaan, otoritas, dominasi, dan penundukan. Pengertian kekuasaan yang dimaksud Dahrendorf sama yang dirumuskan Max Weber, juga tentang otoritas yang melibatkan legitimasi sebagai unsur yang menentukan. Dahrendorf banyak memberikan penjelasan tentang otoritas pada konteks perserikatan yang terbentuk secara memaksa.
Menurut Dahrendorf (dalam Susilo, 2008:312-325), menyatakan bahwa untuk menggambarkan setiap keteraturan tidak didasarkan pada kebebasan personal, tetapi kesepakatan bebas dari semua yang terlibat karena “dipaksa”, seperti didasarkan pada otoritas dan subordinasi. Sejak hanya pertarungan khayalan, dari analisis sosiolog memiliki dua konsep yang berdampingan, yakni norma dan sanksi. Keduanya masuk sebagai kekuasaan terlembaga dalam masyarakat, terdapat norma-norma yang mengatur perilaku manusia dan aturan-aturan ini dijamin dengan insentif dan ancaman atau sanksi. Kemudian pemaksaan sanksi adalah inti kekuasaan yang abstrak. Menariknya, Dahrendorf menyatakan bahwa teori fungsionarisme dikatakan sebagai aliran utopia, sementara pendekatan konflik dinyatakan sebagai teori rasional. Dahrendorf bukannya menolak bahwa dalam masyarakat terdapat hal penting yakni consensus, tetapi ia ingin menegaskan bahwa konflik adalah “struktural” dalam kehidupan sosial. Kemudian kegagalan sosiologi, sebagai ilmu, sama halnya dengan kegagalan ilmuan sosiologi memberikan penjelasan tentang konflik sebagai bagian penting dalam fenomena sosial. Dari sinilah ia mengusulkan model dialektis tentang konflik sosial dengan menekankan pada pentingnya peran kewenangan dan kekuasaan (power).
Konsep kekuasan yang dimaksud Dahrendorf adalah sebagaimana yang kita temukan dalam konsep Weber atau yang dalam ilmu politik selalu dikatakan sebagai kemampuan individu/kelompok untuk memaksakan keinginannya pada pihak lain, sekalipun ada kelompok-kelompok yang menentang. Tetapi, Dahrendorf menyatakan perbedaan penting antara kekuasaan dan kewenangan, yaitu terletak pada kenyataan bahwa kekuasaan pada dasarnya berhubungan dengan kepribadian individual, sedangkan wewenang selalu berhubungan dengan posisi atau peranan sosial seseorang.
Oleh karena itu, otoritas bisa digunakan oleh individu atau kelompok untuk merealisasikan tujuan-tujuan tertentu. Kekuasaan merupakan faktual semata-mata, sementara itu wewenang merupakan hubungan dominasi dan penundukan yang sah. Tetapi, dalam dominasi juga terdapat unsur kekuasaan, sebab pengertian dominasi adalah hak untuk mengeluarkan perintah yang memaksa.
Model konflik dialektis di ajukan karena sumber konflik sosial terlihat sudah tidak terelakan, yang muncul dari pembagian inheren dari semua organisasi sosial kedalam dua kategori peran yang berlawanan, yakni mereka yang mempunyai otoritas dan mereka yang menjadi subordinat bagi otoritas (Susilo, 2008:312-325).

4. Konflik dan struktur sosial masyarakat
Kata konflik sering dihubungkan dengan pertengkaran, perkelahian, pengrusakan. Pokoknya selalu memiliki konotasi negatif. Contohnya konflik Ambon, tanpa berpikir mendalam setiap orang tahu apa yang dimaksud. Demikian juga kalau kita dengar tentang konflik di gereja, kita segera tahu apa yang dimaksudkan.
Konflik selalu melibatkan dua, atau lebih, sisi yang berlawanan, baik itu berhubungan dengan orang, peraturan, budaya, maupun benda-benda tertentu. Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia, konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertentangan, atau ketegangan dalam diri seseorang terdapat dua atau lebih gagasan atau keinginan yang saling bertentangan, hal ini biasanya akan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Contoh konflik sosial, artinya ada pertentangan/persaingan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dari beberapa pandang tentang konflik, sebagaimana dijelaskan di atas yang seiring dengan konflik-konflik yang terjadi di Kecamatan Bontonompo Selatan yang bersifat perkelahian, pembunuhan dan terjadi pada komunitas painung ballo walaupun konflik ini tidak berlampau lama akan tetapi konflik ini kadang terjadi secara tiba-tiba. konflik yang tiba-tiba terjadi karena pengaruh dari konflik sebelumnya karena penyelesaian konflik yang tidak tuntas sehingga, konflik ini dapat terjadi ketika terjadi pertemuan yang secara tiba-tiba, apalagi ketika sudah mengkonsumsi miras jenis ballo maka konflik mudah untuk terjadi.
Peter M. Blau (1977:5) menyatakan bahwa struktur sosial adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan di antara mereka (termasuk di dalamnya hubungan konflik). Karakteristik pokok dari struktur sosial komunitas painung ballo yaitu adanya berbagai tingkat ketidaksamaan atau keberagaman antar bagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama, sehingga mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut yang berupa eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama. Atas dasar struktur sosial, dapat disebutkan bahwa interaksi antar bagian dalam kehidupan bersama dapat terjadi antar kelompok, baik atas dasar parameter nominal maupun gradual; bahkan tidak hanya secara internal tetapi dapat juga secara eksternal. Interaksi antar bagian dalam kehidupan sosial pada komunitas painung ballo. Sementara itu, Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut keabsahan hubungan pada komunitas yang ada atau dari sudut struktur sosial setempat.

B.Komunitas Painung Ballo
Asal kata community adalah bahasa Latin “munus”, yang bermakna the gift (memberi), cum, dan kebersamaan (together) antara satu sama lain. Dapat diartikan, komunitas adalah sekelompok orang yang saling berbagi dan saling mendukung satu sama lain. Jadi komunitas painung ballo di kecamatan Bontonompo Selatan merupakan sekelompok orang yang memiliki profesi yang sama dan selalu berkumpul bersama-sama melalui interaksi, tempat perkumpulanya komunitas painung ballo ini memang sudah memiliki tempat-tempat khusus, karena komunitas ini merupakan salah satu perilaku menyimpang, jadi mereka harus jauh dari keramain, kenapa demikian, karena tidak menutup kemungkinan di dalam komunitas ini akan lahir konflik-konflik.
Komunitas adalah sekelompok orang dengan adanya elemen yang berbagi (shared element) di antara mereka. Substansi dari shared element tersebut sangat luas, yaitu dari berbentuk situasi sampai ke interest dalam hidup, dan bahkan nilai-nilai. Hal ini diwakili dalam konsep kolektivisme (collectivism). Komunitas memiliki banyak makna. Ia dapat dimaknai sebagai sebuah kelompok dari satu masyarakat (forming a distinct segment of society), atau sebagai sekelompok orang di satu area (a group of people living in a particular local area) yang memiliki karakteristik etnik dan kultural yang sama. Satu ciri khasnya adalah mereka memiliki sesuatu secara bersama-sama (common wnership). Jika bertolak dari pengertian ekologi, maka komunitas adalah sekelompok organisme yang saling tergantung pada satu wilayah, dan mereka saling berinteraksi
Komunitas dapat dibedakan atas berbagai pola, atas dasar ukuran (besar dan kecil), atas dasar level (lokal, nasional, internasional), riel atau tidak riel (virtual), bersifat kooperatif (cooperative) atau kompotetif (competitiv), serta formal atau informal. Pada perkembangannya, konsep komunitas dipakai secara lebih luas. Untuk kesatuan hidup yang berada dalam satu wilayah tertentu disebut sebagai “community of places’, sedangkan hubungan yang diikat arena kesamaan kepentingan namun tidak tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu (borderless) disebut dengan “community of interest”.
Apapun definisinya, komunitas harus memiliki sifat interaksi (the nature of interaction) yaitu interaksi yang informal dan spontan harus lebih banyak dari yang interaksi yang procedurally formalized (seperti dalam birokrasi), serta memiliki orientasi yang jelas (goal-oriented).
Lahirnya komunitas painung ballo karena adanya interaksi secara struktur yang alamiah, seperti saling mengajak antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lainnya dan ada pula dari segi faktor pertemanan yang saling ajak mengajak hingga sampai membesar. Ciri utama sebuah komunitas painung ballo memiliki sifat kebersamaan dan orang-orang yang bergabung didalamnya masih dimayoritasi oleh orang-orang yang tidak berpendidikan akan tetapi adapula yang berpendidikan.
Walaupun pada dasarnya. Komunitas merupakan unit-unit sosial yang memiliki otoritas sendiri dengan nilai-nilai bersama dan rasa memiliki satu sama lain. Suatu komunitas terjaga karena adanya kohesi sosial sesama mereka, dalam situasi dimana individu-individu diikat dengan orang lain oleh komitmen sosial dan kultural. Kohesi sosial terdapat dalam grup besar maupun kecil.
Menurut Mitchell (dalam Syahyut, 2009), ada 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu:
1.Komitmen individu untuk norma dan nilai umum
2.Kesalingtergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest)
3.Individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.
Komunitas adalah kumpulan dalam suatu ruang lingkup sedangkan sosial adalah pembauran dalam masyarakat. jadi kumpulan dalam ruang lingkup yang ada pada pembauran masyarakat dimana terdapat berbagai jenis dan tipe kelompok yang diatur sesuai kepentingan masing masing. misalnya kumpulan sosial pada masyarakat modern dan tradisional yang satu sama lain jelas berbeda pengertian yang dimana, modernis menemukan gaya baru yang lebih mutakhir melebihi tradisionalis (Rara, 2007).
Dalam Democracy and Education, Dewey melihat komunitas terbangun dari ikatan-ikatan (commonalities) yang secara rumit saling terkait melalui komunikasi. Dewey mengamati bahwa “masyarakat tidak terus ada karena penyebaran, karena komunikasi, tetapi cukup layak jika dikatakan bahwa masyarakat terwujud dalam komunikasi” (1916) ikatan-ikatan, dalam bentuk seperi ‘tujuan, kepercayaan, dan pengetahuan’, adalah keharusan bagi terbentuknya komunitas, dan terbangun melalui komunikasi. Dalam konsepsi Dewey, komunikasi dan cara-cara dimana komunikasi dilakukan adalah krusial bagi pembentukan komunitas, dan kita bisa menyimpulkan juga bahwa ‘kualitas’ komunikasi menyatu dengan kualitas komunitas tersebut (Raharjo, 2004).
Komunitas painung ballo lahir karena adanya kesamaan pandangan dan eksis sampai sekarang karena sikap yang berupa persepsi terhadap ballo masih memiliki kesamaan serta selerah yang selalu terbangun dari individu yang satu keindividu yang lainnya sampai membentuk suatu kelompok atau komunitas. Komunitas painung ballo bertahan dan tersebar dari barbagai desa karena terjadinya pola interaksi lewat hubungan emosional sehingga lahirlah ikatan-ikatan solidaritas komunitas painung ballo, walapun komunitas tersebut tidak terlepas dari konflik-konflik antar painung ballo itu sendiri. Munculnya komunitas-komunitas painung ballo karena dipengaruhi oleh konflik-konflik individu yang terjadi dalam satu komunitas sehingga membentuk komunitas tersendiri sehingga komunitas painung ballo terus bertambah.

C.Konflik di Kecamatan Bontonompo Selatan
Max Weber adalah seorang tokoh peletak dasar-dasar sosiologi modern yang berasal dari Jerman, mula-mula diketengahkan konsep Weber mengenai perilaku sosial, yang kemudian dilanjutkan konsepnya mengenai hubungan sosial. Menurut weber bentuk perilaku sosial yang paling penting adalah perilaku sosial timbal-balik (Soekanto, 1985:9).
Perubahan sosial dalam kehidupan merupakan suatu proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial di mana semua tingkat kehidupan masyarakat akan terpengaruh secara internal maupun eksternal untuk meninggalkan pola-pola kehidupan yang lama dan memulai pola-pola kehidupan yang baru tanpa memahami dampak dari kehidupan sosial yang semakin dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan pribadi sehingga konflik susah untuk dihindari (Burhan Bungin, 2006:91).
Bontonompo Selatan sebagai Kecamatan yang dikenal sarat dengan konflik karena dalam kehidupan sosial manusia terdiri dari beberapa komunitas dimana komunitas tersebut telah melahirkan beberapa kelas-kelas sosial, seperti halnya komunitas painung ballo, dan membentuk kelas-kelas tersendiri yang merupakan juga bagian dari kelas pemakai miras jenis ballo dalam hal ini, ada kelas orang tua, kelas anak mudah dan kelas anak-anak yang sifatnya secara jeneral. Dimana komunitas painung ballo merupakan bagian yang sama dengan kelas-kelas tersebut di atas, akan tetapi yang membedakan tentang kelas-kelas terhadap komunitas adalah komunitas painung ballo ini di dalamnya terdiri dari berbagai macam orang, ada dari komunitas orang terdidik dalam hal ini pelajar, mahasiswa, sopir, dan lain sebagainya. Bontonompo Selatan memiliki dinamika tentang gambaran realitas terjadinya konflik, konflik sarat terjadi pada: Adanya pesta perkawinan yang dirangkaikan dengan hiburan, masalah kasus tanah, politik, masalah pertikaian anak-anak yang membias ke keluarga, adanya dendam peribadi, masalah pergaulan, terjadinya kesalahpahaman, semaraknya pencurian, perjudian, dimana konflik sarat terjadi, adanya prosesi pernikahan/pesta perkawinan yang dirangkaikan dengan adanya hiburan, dan saat adanya pertandingan-pertandingan, lahirnya komunitas-komunitas painung ballo serta kelas-kelas painung ballo. Sering terjadi konflik pada pesta perkawinan sehingga mendapat perhatian dari pihak pemerintah Kecamatan Bontonompo Selatan, pemerintah Kecamatan Bontonompo Selatan yang dijabat oleh Bapak Abd. Latif pada tahun 2006, maka lahirlah aturan resmi dan berlaku pada tanggal 10 Juni 2006 sebagai langkah dalam menanggulagi tingkat konflik yang terjadi dengan merumuskan aturan-aturan seperti halnya; peraturan batasan waktu hiburan pada saat adanya pesta perkawinn dari jam 08.00-10.00 malam, walaupun pada awalnya jam hiburan sebelum lahir aturan tersebut mulai dari jam 08.00-12.00 malam, aturan ini lahir sebagai salahsatu penanganan atau solusi untuk mengurangi tingkat pertikaian/konflik, akan tetapi, dengan lahirnya aturan baru, tingkat pertikaian atau konflik tetap masih terjadi sampai sekarang dan tidak ada perubahan secara siknifikan, dengan demikian saya tertarik meneliti tentang Analisis Konflik sosial pada komunitas painung ballo di Kecamatan Botonompo Selatan.
Dalam ilmu Sosiologi memiliki sumbangsi yang dimana manfaat sosiologi secara sederhaha sebagai ilmu sosial yang mampu memberikan sumbangan kepada perbaikan masyarakat: kebenarannya yang diujikan secara sistimatis bisa memberikan pegangan bagi penyelesaian konflik-konflik yang menggangu; kita ambil dua contoh acak: dengan memperdalam wawasan mengenai siklus utang dan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga. Ilmu sosial diharapkan dapat membantu menemukan solusi dari konflik-konflik tersebut; dengan menyelidiki sebab-sebab penganiyayaan anak-anak dalam keluarga inti, ilmu sosiologi diharapkan dapat melakukan hal yang sama bagi banyak keluarga. Hal yang sama berlaku pula pada banyak pertentangan dan konflik lain. Secara garis besar inilah yang sebenarnya diharapkan oleh setiap mahasiswa yang pergi ke universitas atau perguruan tinggi untuk belajar ilmu sosial, Webb (dalam Harslamp, 2005:1).
Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang dipangkunya karena budaya merupakan landasan filosofi yang mendasari setiap perilaku manusia itu. Sehingga dengan demikian seringkali manusia secara tidak sadar bersikap tertutup terhadap kemungkinan perubahan dalam nilai-nilai budaya yang dipangkunya. Mereka juga sering merasa bahwa nilai-nilai yang selama ini dimilikinya merupakan yang terbaik, dan karenanya harus dipertahankan.
Jadi individu, kelompok di mana dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang dikatakan ”konflik”. Selama masyarakat masih memiliki kepentingan, kehendak, serta cita-cita konflik senantiasa ”mengikuti mereka”. Oleh karena, dalam upaya untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan pastilah ada hambatan-hambatan yang menghalanginya dan hal tersebut haruslah disingkirkan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan-benturan kepentingan antara individu dengan komunitas, atau komunitas dengan komunitas, jika hal ini terjadi, maka konflik merupakan sesuatu yang niscaya terjadi didalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam kerangka ini sosiologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan memahami perilaku sosial secara interpertatif supaya diperoleh kejelasan mengenai sebab-sebabnya, prosesnya, serta efeknya. Suatu gejala akan disebut perilaku hanya sepanjang seseorang atau beberapa orang terlibat dalam aksi subyektifitas yang berarti bagi mereka. Suatu konstruksi perilaku yang secara murni dan rasional yang berorientasi pada tujuan mungkin berfungsi sebagai tipe ideal dalam sosiologi, oleh karena kejelasan pemahaman dan kepastiannya secara rasional. Dengan demikian timbul pula dukungan pada pemahaman mengenai pengaruh faktor irasional terhadap perilaku yang beriorentasi pada tujuan, sehingga faktor-faktor tersebut dapat diidentifikasikan sebagai penyimpang terhadap perilaku orisional hipotetis. Disamping itu perilaku dicatat, pada ilmu-ilmu perilaku manusia terhadap proses dan gejala yang tidak mempunyai arti subyektif. Proses dan gejala tersebut merupakan dorongan atau efek, yang mungkin mendukung perilaku manusia atau menjadi suatu penghalang. Perilaku tanpa arti itu tidak boleh disamakan dengan perilaku bukan manusia. Setiap arti (misalnya sebuah mesin) hanya berarti sampai batas bahwa produksi dan penggunaannya mempengaruhi perilaku manusia, arti mana mempunyai berbagai variasi dalam tujuan-tujuannya. Tanpa adanya acuan pada obyeknya, hal itu sama sekali tidak mempunyai arti.
Hal yang memberikan arti pada suatu obyek adalah hubungannya dengan perilaku manusia serta peranannya terhadap sarana atau tujuannya. Pada hubungan itulah manusia mungkin mempunyai kesadaran tertentu atau terhadap hubungan itulah perilaku manusia beriorentasi. Hanya dalam pengertian kategori-kategori itulah suatu pemahaman terhadap obyek-obyek yang timbul (Soerjono Soekanto, 1985:20-21).

1.Sebab terjadinya konflik
Menurut para ahli mengenai sebab-sebab terjadinya konflik di kalangan orang makassar, pada umumnya diakibatkan oleh sakit hati di antara sesama penduduk, perbedaan pandangan, dan karena perebutan harta warisan Simanjuntak. Namun selain itu masih ada konflik yang disebabkan oleh persoalan utang-piutang dan karena biaya pelaksanaan adat yang dirasakan tidak adil atau amat memberatkan. Ada pula konflik yang disebabkan oleh penculikan (termasuk yang berkaitan dengan perkawinan, perjudian), oleh penghinaan yang dianggap menjatuhkan martabat, dan oleh permasalahan kepemilikan tanah tetapi yang menjadi fokus penelitian saya adalah bagaimana konflik di Bontonompo Selatan terhadap komunitas painung ballo terjadi.
a. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas acara minum-minum di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa khawatir karena peminum selalu berisik dan biasa terjadi percekcokan antara individu yang bergabung dalam komunitas tersebut. Demikian banyak hal yang dapat dicontoh, terdapat kelompok yang merasa paling kuat, paling benar sehingga kurang menghargai kelompok lain atau perbedaan.

b.Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pelestarian ballo. Para peminum menganggap ballo sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh dimusnakan. Para toko agama mewajibkan menebang pohon-pohon lontar dan memusnakan ballo karena dianggap sebagai hal yang akan merusak moral masyarakat dan generasi mural serta akan melahirkan konflik sosial. Di sini jelas terdapat perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antara kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. Sering terjadi pada industri-industri yang sedang berkembang seperti banyak terdapat di Indonesia, bahkan dalam pengamatan terdapat konflik antara perusahan dengan pemerintah sehingga banyak perusaha besar dan terkenal menghentikan produksinya dan memindahkan ke negera lain.

c.Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

2.Dampak terjadinya konflik
Kalau dilihat dari sudut pandang teoritik, konflik menurut Ralf Dahrendorf merupakan penomena yang selalu hadir dalam setiap masyarakat (Syafuan Rozin, 2006:5), jadi dampak terjadinya Konflik karena tidak terselesaikan dengan baik dapat berakses bagi terjadinya permusuhan, dendam yang selama ini ada akan tetap tersimpan dan dendam tersebut sebagai biang keladi (penyebab utama) bagi terjadinya permusuhan. Ungkapan utang darah dibayar darah; utang nyawa dibayar nyawa, adalah ungkapan permusuhan yang ditimbulkan oleh konflik yang tidak terselesaikan dengan baik inilah yang menjadi paham masyarakat Kabupaten Gowa secara kultural.
Konflik dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok, demikian juga halnya permusuhan tersebut dapat terjadi antara individu dan individu yang lain, misalnya lahirnya kelompok-kelompok kecil pada generasi mudah baik ditingkat kecamatan, pedesaan dan kelurahan serta tingkat dusun dan masih banyak lagi gejala-gejala lain, Permusuhan atau pertikaian juga dapat terjadi antara kelompok yang ada, contoh konkrit pada pemilihan legislatif kemarin dari salah satu pendukung partai politik terlibat bentrok pada salah seorang penduduk dikelurahan Bontoramba saat pemasangan baleho, salah seorang penduduk ini sudah mengkonsumsi miras jenis ballo (lagi mabuk) akhirnya terjadilah konflik yang berupa perkelahian.
D.Historis Poko Tala dan Asal Muasal Ballo

1.Poko tala sebagai simbol Kerajaan Gowa
Pohon lontar (poko tala) merupakan pohon yang memiliki banyak manfaat bagi masyarakat Bontonompo Selatan secara khusus dan Gowa secara umum selain dari itu pohon lontar merupakan situs sejara sebagai simbol peta-peta kekuatan Gowa. Poko tala memang suatu hal yang sangat pundamental bagi masyarakat Gowa karena poko tala merupakan situs sejarah yang memiliki simbol tersendiri dan makna khusus bagi kerajaan Gowa, sebagai mana ungkapan beberapa budayawan dan masyarakat bahwa poko tala merupakan tanda bukti dimana Gowa pernah berkuasa dan menjajah wilayah tersebut dalam artian bahwa dimana ada pohon lontar (poko tala) disana pernah dikuasai oleh kerajaan Gowa dan pernah dijajah oleh kerajaan gowa. Akan tetapi, selain dari itu Gowa memiliki hubungan kerajaan dari berbagai daerah dengan simbol kalompoang dalam model aruh sebagaimana berikut ini:
Bannang keboka ri allu
Cindea ri gowa
Payung lompoa ri bone
Payung tallua ri luwu
Macang bulengan ri tallo
Kolauwa ri jongaya
Mahkotaya ri parangtambung
Lipa sa’beya ri allu
Sa’be tena mayukanna risengka
Kupake lampa bella
Nania tallangeranna
Kupake bani-bani nania kucini-cini.

Hubungan historis dari berbagai simbol kalompoang di Gowa dan di daerah lainnya membuktikan bahwa Gowa dengan daerah seperti Gowa, Bone, Luwu, Tallo, Jogaya, Parangtambung, merupakan suatu kesatuan yang memiliki hubungan kerajaan dengan simbol kalompoang yang dimilikinya. Selain dari hubungan tersebut situs sejarah seperti pohon lontar pun menjadi bagian dari bukti sejarah. Persebaran poko tala diberbagai daerah sehinga bisa ada karena menurut pandang budayawan dalam hal ini Baharuddin Dg Kio bahwa poko tala bisa ada ditiap-tiap daerah karena daerah tersebut pernah dijajah oleh gowa dan pernah dilewati oleh orang-orang gowa karena orang gowa ketika berjalan dari daerah ke daerah mereka tidak terlepas dari paratolo jadi dimana orang gowa berlaju disitu melempar paratolo, paratolo yang dimaksud disini adalah buah dari pohon lontar dan kenapa dikatakan paratolo karena dimana dia dilempar maka disitulah iya tumbuh.
Pohon lontar dengan berbagai fungsi sesuai dengan sejarah masalalu bahwa daun pohon lontar merupakan bagian dari kertas yang dipake untuk tulis menulis dalam proses surat menyurat antara para raja-raja dalam hal ini sebagai alat komunikasi dalam konteks tulisan.
Daun pohon lontar (poko tala) dengan kekayaan manfaat bagi masyarakat Bontonompo Selatan selain sebagai alat tulis juga memiliki manfaat seperti halnya; a) daun Pohon lontar (poko tala) berfunsi sebagai tikar, b) daun Pohon lontar (poko tala) berfungsi sebagai baku-baku, c) daun Pohon lontar (poko tala) berfungsi sebagai atap rumah (pa’tongko), dan d) Pohon lontar (poko tala) bisa menghasilkan tuak yang dikenal dengan ballo tala. Sebagaimana hal tersebut di atas yang masih bertahan sampai sekarang karena hal tersebut merupakan sumber pendapatan bagi kalangan masyarakat Bontonompo Selatan sehingga pohon lontar masih terjaga dan terpelihara.

2.Asal-muasal ballo
Ballo pada prinsipnya terdiri dari beberapa jenis seperti halnya ballo tala, Ballo ase, ballo nipa, Ballo inru, dari beberapa jenis ballo tersebut mereka memiliki asal usul yang berbeda-beda seperti halnya balo tala yang dikenal berasal dari tana karena airnya dari bawa keatas, karena tidak bisa menghasilkan ballo kalau musim-musim hujan, ballo ase yang dikenal dari padi karena ballo ase terbuat dari beras ketang dan tidak bisa jadi ballo kalau terlebih dahulu tidak dimasak (disongkolo).
Asal mulanya sehingga ballo bisa lahir sesuai dengan informasi dari beberapa informan dalam hal ini Dg. Makka bahwa ballo yang pertama adalah ballo inru, dimana pohon inru yang tumbuh didepan pintu masuk baitullah sehingga setiap orang yang lewat selalu tersandung kepalanya di buah pohon inru tersebut termasuk alih, dari sekian hari alih lalu-lalang lewat pintu baitullah selalu tersandung pada buah pohon inru tersebut, yang akhirnya alih menebas dalam artian memotong buah pohon inru dan lansung menetes airnya dan ada orang yang mencobanya yang akhirnya air dari buah pohon inru ternyata manis sehingga diberilah tempat penampungan, kemudian orang yang mencobanya ingin merasakan rasa yang lain maka air dari buah pohon inru tersebut di campur dengan te’ba jawe-jawe (te’ba kayu) sehingga berubalah kasiat air dari pohon inru tersebut dan memabukkan.

E.Konsep Perilaku Menyimpang

Teori sosiologi tentang perilaku menyimpang dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: struktural dan proses sosial. Teori-teori struktural memandang penyimpangan berdasarkan kondisi struktur di masyarakat . sedangkan teori-teori proses sosial menggambarkan proses-proses yang dialami individu sehingga melakukan penyimpangan (Siahaan, 2009:104). Manusia merupakan mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia hidup berdampingan dengan manusia yang lain. Manusia tidak dapat menjalani dirinya dengan sendiri. Manusia memiliki ketergantungan dengan yang lain. Ketergantungan ini kemudian menyebabkan manusia melakukan interaksi dengan sesama manusia agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari kehidupan inilah kemudian lahir konsepsi kehidupan kolektif yang disebut sebagai masyarakat.
Terdapat tiga konsep yang tidak bisa dilepaskan bila kita membicarakan manusia dalam hubungannya dengan masyarakat (sosial), yaitu interaksi sosial, proses sosial dan produk sosial. Ketiga konsep ini saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Di dalam masyarakat, individu melakukan interaksi dengan individu lainya, selama interaksi tersebut berlangsung, terjadi mekanisme yang dinamakan sebagai proses sosial. Kemudian pada akhirnya proses sosial ini akan melahirkan produk sosial yang dikenal sebagai norma.
Kajian sosiologi tentang norma kemudian berhubungan dengan kajian sosiologi tentang penyimpangan sosial, yaitu situasi ketika masyrakat menganggap orang dan perilaku tertentu dianggap melanggar aturan dan konvensi sosial yang ada. Sosiologi mempelajari perilaku menyimpang dalam rangka mencari dasar-dasar bagi keteraturan dan ketidakteraturan sosial sehingga dapat menetapkan batasan dan paraturan apa yang akan diteliti.
Penyimpangan sosial mempelajari perilaku dan mereka yang dianggap sebagai pelanggar aturan. Akan tetapi kriminologi adalah studi tentang orang-orang yang melanggar aturan resmi secara yuridis, yaitu hukum. Bila berbicara mengenai penyimpangan di masyarakat perhatian kita akan tertuju pada perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat seperti pada komunitas painung ballo di kecamatan Bontonompo Selatan yang tidak terlepas dari konflik-konflik sosial.

F.Kerangka Konsep
Menurut Horton, Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut.
Berangkat dari latar belakang, yang akan menjadi tempat penelitian kami adalah masyarakat Bontonompo Selatan, karena mencermati realitas dinamika masyarakat Bontonomo Selatan yang di dalamnya terdiri dari kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas yang seperti halnya, komunitas Painung ballo dan Masyarakat Non Painung ballo, dengan demikian, peneliti akan menarik sampel dari dua komunitas serta masyarakat yang lain maupun pihak pemerintah yang dianggap memahami dan mengetahui dari apa yang akan kami teliti. Berangkat dari masyarakat Bontonompo Selatan yang terdiri dari komunitas painung ballo dan non painung ballo yang menjadi fokus penelitian ini karena untuk mengetahui bagaiman masyarakat non painung ballo dan komunitas painung ballo tentang lahirnya konflik-konflik sosial di kalangan masyarakat Bontonompo Selatan, inilah yang menjadi latar belakang untuk memahami dan mengetahui hegemoni sosial masyarakat agar dalam penelitian ini dapat melahirkan dan menemukan gambaran tentang konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Bontonompo Selatan sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini dapat terjawab. Maka dari itu sikap dapat diartikan sebagai; perasaan seseorang tentang obyek, aktifitas, peristiwa dan orang lain. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak sukanya (positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu.
Sedangkan perilaku dapat pula didefinisikan sebagai; respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut (Sir Antonius, 2008).

BAB III
METODE PENELITIAN

A.Lokasi Penelitian
Sebelum melakukan penelitian mendalam, penulis sudah paham sedikit tentang gambaran dan kondisi komunitas painung ballo serta konflik-konflik yang sering terjadi di Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa, sehingga dalam penelitian ini, penulis dapat menentukan lokasi penelitian di Kecamatan Bontonompo Selatan dengan berfokus pada komunitas painung ballo tentang konflik yang terjadi,
Ada beberapa yang menjadi alasan mendasar dalam penentuan lokasi penelitian ini, pertama, kemunculan komunitas painung ballo bukan lagi hal yang baru serta kemunculan konflik yang selalu di identikkan dengan painung ballo di kalangan masyarakat Bontonompo Selatan. Kedua, komunitas painung ballo memang cukup dikenal oleh banyak kalangan serta ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan sangat dikenal oleh komunitas painung ballo di luar Kecamatan Bontonompo Selatan, ketiga, karena lokasi penelitian ini merupakan tempat kelahiran peneliti yaitu Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa.
Alasan lain dalam penentuan lokasi penelitian adalah karena banyaknya individu yang mengkonsumsi ballo serta seringnya terjadi konflik-konflik sosial yang tidak terlepas dari komunitas painung ballo dikalangan masyarakat Bontonompo Selatan, sehingga peneliti membatasi lokasi penelitian khususnya di Kecamatan Bontonompo Selatan, karena di samping penomena tersebut memerlukan perhatian, juga wilayah, bahasa, adat-istiadatnya, karakteristik masyarakat telah banyak peneliti pahami.

B.Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pendekatan fenomenologis sebagai bagian dari ilmu sosiologi yang bersipat inkuiri naturalistik, jenis penelitian ini dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Melihat jenis dan sifat penelitian yang inkuiri naturalistik yang mengarah pada pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini.
Kategori penelitian ini memberikan peluang untuk memahami penomena berdasarkan pandangan masyarakat setempat tentang konflik sosial yang terjadi serta dinamika painung ballo dan kemunculan konflik di Kecamatan Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa.

C.Subyek Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada konflik sosial pada komunitas painung ballo yang sering terjadi di Kecamatan Bontonompo Selatan dengan menggunakan teknik snow ball. Subyek dalam penelitian ini terdiri dari informan kunci dan informan utama. Jumlah informan dalam penelitian ini terdiri dari 25 informan dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1.Dalam penelitian ini, yang menjadi sasaran adalah painung ballo yang sudah 3 tahun lama mengkonsumsi ballo, serta individu yang mengkonsumsi ballo setiap hari yang menghabiskan minuman berupa ballo mulai dari 5 liter sampai 10 liter, dan painung ballo yang sering terlibat konflik di tengah-tengah masyarakat Bontonompo Selatan. Selain diwawancarai tentang penyebab konflik di Kecamatan Bontonompo selatan, dan bagaimana dinamika konflik pada komunitas painung ballo, mengapa ballo bisa memabukkan, serta eksistensi painung ballo dan asal-usul ballo. Juga diamati secara langsung mengenai konflik-konflik yang terjadi di Kecamatan Bontonompo Selatan.
2.Masyarakat, seperti, tokoh Agama, mantan painung ballo yang suka terlibat konflik, tokoh masyarakat dan aparat keamanan, yang tergolong paham dan mengetahui bagaimana eksistensi komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan, tentang pemunculan konflik dan dinamika konflik pada komunitas painung ballo di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Bontonompo Selatan.

D.Definisi Konsep
Untuk menghindari perbedaan pemahaman atau persepsi, maka dibuat definisi konsep sebagai berikut:
1.Kanflik sosial adalah Percekcokan, perkelahian, perselisihan, pertentangan, antara satu individu dengan individu yang lainnya atau satu kelompok dengan kelompok yang lain dalam komunitas painung ballo dan non painung ballo di tengah-tengah masyarakat Bontonompo Selatan.
2.Eksistensi komunitas painung ballo adalah keberadaan ballo tala tidak dapat dipisahkan dari komunitas painung ballo yang sudah menjadi kebiasaan di tengah-tengah hidup masyarakat, sehingga komunitas painung ballo masih bertahan sampai sekarang.
3.Dinamika konflik sosial painung ballo adalah seringnya terjadi perkelahian antara sesama komunitas painung ballo, antara keluarga dan seringnya melakukan keonaran/kekacauan di tengah-tengah masyarakat setelah melakukan pesta minum-minuman keras jenis ballo tala.

E.Jenis dan Sumber Data
Kategori data yang akan digunakan, maka jenis penelitian ini adalah deskriftif kualitatif. Jenis penelitian ini akan menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang serta perilaku yang dapat diamati.
Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpul secara langsung dari informan berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati serta diwawancarai dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (interview guide) dan pengamatan (observasi), serta (eksplorative research).
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari pengkajian bahan pustaka berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen pada instansi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dengan menggunakan teknik dokumentasi, berkaitan dengan hal itu pada bagian ini yang menjadi sumber data berupa data tertulis atau melalui perekaman, foto-foto.

F.Teknik Pengumpulan Data
Mengacu pada urgensi pengkajian yang dikembangkan dalam penelitian ini, maka digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1.Teknik wawancara mendalam, merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan tanya jawab dengan para komunitas painung ballo dan masyarakat sekitarnya secara akurat tentang bagaimana konflik sosial terjadi di Kecamatan Bontonompo Selatan. Informan yang di perlukan disini tidaklah sifatnya mengikat, dalam artian bahwa peneliti melakukan penelusuran wawancara secara mendalam kepada para informan sampai informasi yang di dapatkan sudah bersifat berulang dari informan yang satu ke yang lainnya. Namun, setelah informasi tersebut peneliti anggap sama yang diberikan oleh informan sebelumnya, maka peneliti akan ”berhenti” sementara untuk kemudian melakukan interpretasi data yang telah di dapatkan di lapangan.
2.Teknik observasi, merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung pada komunitas painung ballo, tentang bagaimana serta mengapa kemudian ballo sangat identik dengan konflik, serta apa saja yang melatar belakangi sehingga konflik sangat identik dengan komunitas painung ballo yang ada di Kecamatan Bontonompo Selatan.
3.Teknik dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mencatat data langsung, foto lapangan, serta gambar-gambar yang dapat lebih mengakuratkan data penelitian yang berkaitan dengan konflik yang terjadi pada komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan.
G.Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif kualitatif. Maksudnya adalah, seluruh data yang diperoleh dari wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi, peneliti akan mendiskripsikan, menganalisis, menginterpretasikan, memaparkan, yang ada hubunganya dengan fokus penelitian ini. Untuk lebih detailnya sebagai berikut:
1.Tahap pertama, peneliti melakukan pengumpulan data dan informasi dari informan, baik itu yang berkaitan dengan konflik soal komunitas painung ballo maupun masyarakat yang berasal dari Kecamatan Bontonompo Selatan yang paham tentang komunitas painung ballo dan merupakan bagian dari obyek peneliti.
2.Untuk masalah pertama, peneliti akan mengeksplorasi data dari hasil observasi, wawancara mendalam serta dokumentasi tentang eksistensi komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan.
3.Untuk masalah kedua, peneliti akan menganalisis data dari hasil observasi, dokumentasi, serta wawancara mendalam terhadap pihak yang di jadikan informan yang berstatus painung ballo dan mantan painung ballo tentang mengapa kemunculan konflik sering terjadi pada komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan.
4.Untuk masalah ketiga, peneliti menganalisis dengan menggunakan hasil wawancara mendalam, observasi dan membandingkannya dengan sumber-sumber yang peneliti dapatkan di lapangan, kemudian peneliti memberikan gambaran tentang dinamika konflik sangat identik dengan komunitas painung ballo yang ada di Kecamatan Bontonompo Selatan.
Tahap selanjutnya adalah peneliti menggunakan eksplorasi untuk membuat narasi penelitian tentang latar belakang serta eksistensi komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan, dan selanjutnya melakukan interpretasi dan membuat narasi hasil penelitian tentang kemunculan konflik dan dinamika konflik sosial pada komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan.

H.Teknik Pengabsahan Data
Menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik trianggulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, dan teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan melalui sumber yang lainnya. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Sebelum menganalisa data lebih lanjut perlu diperiksa keabsahan data yang dikumpulkan. Teknik keabsahan data adalah teknik yang digunakan penulis dalam penelitian untuk memperoleh data yang benar-benar absah. Seperti yang diungkapkan oleh Moleong dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (2002:178), yang mengungkapkan bahwa pemeriksaan keabsahan data dapat dilakukan melalui beberapa cara satu diantaranya adalah dengan teknik triangulasi yang meliputi tiga unsur yaitu sumber, metode dan teori.

1. Sumber
Mengecek kembali data yang diperoleh dengan informasi dokumen serta sumber informasi untuk mendapatkan derajat kepercayaan adanya informasi dan kesamaan pandang serta pemikiran.

2. Metode
Metode digunakan untuk mendapatkan keabsahan dalam penulisan hasil penelitian, dalam pemerolehan data peneliti mendapatkan dari beberapa informasi, maka itu perlu adanya pengabsahan data yang didapat agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
3. Teori
Penggunaan teori dalam bentuk Triangulasi berdasarkan anggapan fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaan dengan satu teori. Hal ini tidak mungkin dilakukan peneliti yang hanya menggunakan satu teori.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa sumber buku sebagai acuan teoritis (reverensi), sehingga benar-benar dapat dibandingkan antara teori yang satu dengan yang lain sekaligus dapat menambah wawasan pengetahuan sebagai faktor pendukung dalam menyelesaikan tesis. Dengan membandingkan dari beberapa teori serta didukung data yang ada, sehingga peneliti dapat melaporkan hasil penelitian yang disertai penjelasan-penjelasan sebagaimana ditentukan. Dengan demikian akan menambah derajat kepercayaan data yang ada. Diantara ketiga sumber di atas, penulis terapkan hanya pada sumber untuk memeriksa keabsahan data. Hal ini dilakukan dengan mencocokkan data dari beberapa sumber, antara lain penulis mencoba menggali tentang konflik sosial pada komunitas painung ballo di Kecamatan Bontonompo Selatan dengan sumber primer dari painung ballo, mantan painung ballo dan masyarakat, maupun mencari teori dari beberapa sumber buku.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta: Rineka Cipta.

Ardhana. 2008. Metode Penelitian Studi Kasu. Online (http://ardhana12. wordpress. com /2008/02/08/metode-penelitian-studi-kasus/). Diakses 22 Februari 2009.

Basrowi. M.S. 2005. Pengantar Sosiologi. Rencamaya: Galian Indonesia.

Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial (Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Bungin, Burhan. 2008. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Peguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Condro, Ari. 2005. Tinjauan Analisis Online (http://www.freelists.org/post/ ppi/ppiindia-KRITIK-TINGGI-1). Diakses 3 Februari 2009.

Craib, Ian.1986. Teori-teori Sosial Moderen, Dari Parson Sampai Hebermas. Jakarta: Rajawali.

Dirdjosanjoto, Pradjarto. dkk. 2004. Konflik dan Kekerasan pada Aras Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamidi. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Harskamp, Van, Anton. 2005. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kanisius.

Khaeruddin, Akib, Erwin. 2006. Metodologi Penelitian. Makassar: Berka Utami.

Lauer. Robert. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Moleong, J. Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Marzuki, Laica. 1995. Siri’ Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Hasanuddin University Press.

Poloma, M. Margaret. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Pruitt G, Dean dkk. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Raharjo,Tri,Bambang.2004,Komunitas. Online (http://Settings\ SOULMATE_KU\ Teori Konflik\Komunitasnya John Dewey – Komunitas Honda Tiger Indonesia.htm). Diakses 28 Januari 2009.

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya

Rara, 2007. Sosiologi Tentang Interaksi Sosial Dalam Dinamika Sosial Budaya. Online (http://Zahraluvfriends.blogspot.com/ Answers – Definisi komunitas sosial.htm) Rara, THURSDAY, MAY 24, 2007RanGkUmAn SoSioloGi tentang interaksi sosial dalam dinamika sosial budaya. Diakses 29 Februari 2009.

Ritzer, Georgen. 2004. Teori Sosiologi Modern Jakarta: Kencana Prenada Group.

Rozi, Syafuan. dkk 2006, Kekerasan Komuna (Anatomi dan Resousi Konflik di Indonesial. Yogyakarat: Pustaka Pelajar.

Sir, Antonius. 2008. Analisis Tinjauan Persepsi dan Perilaku. Online (http//Settings/soulmate_ku/sejarah sul-sel\My First Blog Definisi Persepsi & Perilaku.htm) Rabu, 2009 Januari 29

Siahaan, MS, Jokie. 2009. Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi: Malta Printindo.

Soekanto, Soerjono. 1985. Max Wer, Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi. Jakarta: Rajawal.

Susilo, Dwi, K. Rachmad. 2008. Dua Puluh Tikoh Sosiologi Moderen. Jogjakarta: AR. Ruzz Media.

Suryanef, dkk. Potensi Konflik Sosial Berbasisi Agama di Minangkabau. Online (http://www.ireyogya.org/ire.php?about=flamma-16.htm). Diakses April 2009

Susan, Novri. 2003. Teori Konflik Struktural dan Kritis. Online (http://id.wordpress.com/tang/konflik/Weblog.htm) MeiUTC09 3, 2008 Teori Konflik Struktural dan Kritis Posted by ansen situmorang under Sosial, Political and Economic, Teori Sosial | Tag: Konflik dan Konsensus, Teori Sosial | (Positivisme dan Sosial Kritis). Diakses 2 Februari 2009.

Susan, Nuvri. 2009. Sosiologi Konfilk dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Syahyuti. 2009 Penerapan Pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas. Online (http://www.geocities.com/syahyuti/pendekatan_komunitas_primatani. pdf) 11:08, 19 Maret 2009

Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.

_______, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

________, 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers.

Tjokrowinoto, Muljarto. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

________, 2007. Konflik Artikel dari Departemen Sosial RI. Online (http://www.depsos.go.id/ URL: KONFLIKTanggal: Tuesday, 19 June 2007Topik:depsos). Diakses 3 Maret 2009.

Yusuf, Maulana. 2008. Konflik Sosial Ditinjau Dari Segi Struktur dan Fungsi Online (http://artikelipsku.blogspot.com/2008/06/konflik-sosial.html) Minggu, 2008 Juni 15 Artikel di Jurnal Humaniora Volume,XIV,No.3/2002.
Diakses 29 Januari 2009.

Fauzi, Ahmad. 2007. Kekerasan Terhadap Perempuan. Online (http://situs.kesrepro.info/gendervaw/index.htm) Diakses, 5 Agustus 2009

Wangmuba. 2009. Sebab-Sebab Konflik Dalam Masyarakat Online (http://wangmuba.com/2009/02/23/pengertian-konflik-sosial). Diakses 10 Agustus 2009.

Hamid, Abu dkk. 2007. Siri dan Passe (Harga Diri Manusia Bugis Makassar). Cetakan kedua, Makassar: Angota IKAPI.

Wahid, Sugira. 2007. Manusia Makassar. Makassar: Refleksi.

Hello world!

Juli 16, 2011

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.